Sejak pensiunnya Sir Alex Ferguson pada tahun 2013, Manchester United telah memasuki babak baru yang penuh gejolak dan pencarian identitas. Ferguson, yang memimpin klub meraih kesuksesan luar biasa selama 26 tahun, meninggalkan warisan yang begitu besar sehingga menggantikannya adalah tugas yang nyaris mustahil. Guys, mari kita telusuri perjalanan klub Setan Merah di bawah kendali para manajer yang mencoba melanjutkan estafet kepelatihan setelah era legendaris tersebut. Kita akan melihat siapa saja yang mencoba, apa yang mereka capai, dan pelajaran apa yang bisa diambil dari periode transisi yang krusial ini. Ini bukan sekadar daftar nama, tapi sebuah narasi tentang harapan, kekecewaan, dan upaya keras untuk kembali ke puncak kejayaan.
David Moyes: Harapan yang Cepat Memudar
David Moyes adalah pilihan pertama Sir Alex Ferguson sendiri, sebuah indikasi kepercayaan yang besar. Ia ditunjuk sebagai manajer baru Manchester United pada 1 Juli 2013, dengan harapan bahwa ia dapat membawa gaya kepelatihan yang serupa dengan pendahulunya. Moyes, yang telah membangun reputasi kuat selama 11 tahun di Everton, diharapkan mampu meneruskan DNA klub dan mempertahankan standar tinggi yang telah ditetapkan oleh Ferguson. Namun, kenyataannya jauh dari harapan. Musim 2013-2014 menjadi musim yang sangat sulit bagi Moyes dan United. Tim kesulitan menemukan konsistensi, permainan menjadi kurang menarik, dan hasil-hasil penting seringkali terlewatkan. Periode Moyes di Old Trafford hanya bertahan selama 10 bulan, dipecat pada April 2014 setelah kegagalan lolos ke Liga Champions, sebuah pencapaian yang dianggap sebagai standar minimum bagi klub sebesar United. Pekerjaan ini terbukti menjadi tantangan yang terlalu berat, dan ia tidak mampu mengadaptasi gaya serta strateginya untuk level klub sebesar Manchester United. Banyak yang berpendapat bahwa Moyes kurang memiliki pengalaman dalam mengelola skuad bertabur bintang dan tekanan media yang sangat besar di klub sebesar United. Kegagalan ini menjadi pelajaran berharga tentang betapa sulitnya mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh seorang legenda.
Louis van Gaal: Periode Transisi yang Kaku
Setelah era David Moyes yang singkat, Manchester United menunjuk Louis van Gaal, seorang manajer veteran dengan rekam jejak gemilang di klub-klub seperti Ajax, Barcelona, dan Bayern Munich, serta tim nasional Belanda. Van Gaal datang dengan reputasi sebagai pelatih yang tegas, berprinsip, dan memiliki filosofi permainan yang jelas. Ia diharapkan dapat membawa struktur dan disiplin yang lebih baik ke dalam tim, serta mengembalikan United ke jalur perebutan gelar. Di bawah Van Gaal, United memang menunjukkan beberapa perbaikan. Ia berhasil membawa tim finis di posisi keempat klasemen pada musim 2014-2015, dan yang lebih penting, memenangkan Piala FA pada musim 2015-2016. Kemenangan ini menjadi trofi pertama United sejak era Ferguson. Namun, gaya bermain di bawah Van Gaal seringkali dikritik karena dianggap terlalu lambat, monoton, dan kurang atraktif. Meskipun ia berhasil mendatangkan beberapa pemain baru yang berkualitas, ia juga dikenal dengan keputusannya yang terkadang kontroversial, seperti perannya dalam transfer yang melibatkan pemain bintang. Tekanan terhadap Van Gaal semakin meningkat seiring dengan hasil yang tidak konsisten dan ketidakpuasan terhadap gaya permainan. Akhirnya, meskipun berhasil memenangkan Piala FA, ia dipecat pada Mei 2016, hanya dua hari setelah pertandingan final. Ini menunjukkan bahwa trofi saja tidak cukup untuk mempertahankan posisinya, terutama ketika ekspektasi klub dan para penggemar jauh lebih tinggi. Periode Van Gaal bisa dibilang sebagai masa transisi yang lebih terstruktur, namun kekakuan dalam adaptasi dan gaya bermain yang kurang memikat membuatnya tidak bisa bertahan lama.
Jose Mourinho: Harapan akan Kejayaan yang Berakhir Pahit
Kedatangan Jose Mourinho pada Mei 2016 disambut dengan antusiasme tinggi oleh para penggemar Manchester United. Dikenal sebagai 'The Special One', Mourinho memiliki reputasi sebagai manajer yang mampu meraih trofi di berbagai klub yang pernah ditanganinya. Ia datang dengan janji untuk mengembalikan United ke puncak kejayaan, membangun tim yang kuat secara pertahanan dan mematikan dalam serangan balik. Musim pertamanya di bawah Mourinho cukup menjanjikan. Ia berhasil meraih Piala Liga Inggris dan Liga Europa pada musim 2016-2017, sebuah pencapaian yang luar biasa dalam satu musim. Gelar Liga Europa secara khusus memastikan kembalinya United ke Liga Champions. Namun, musim-musim berikutnya tidak berjalan semulus yang diharapkan. Meskipun United mampu finis sebagai runner-up di Liga Premier pada musim 2017-2018, performa tim terlihat menurun, dan jarak dengan rival sekota, Manchester City, semakin melebar. Gaya kepelatihan Mourinho yang cenderung defensif dan terkadang menimbulkan kontroversi di luar lapangan mulai menimbulkan keraguan di kalangan penggemar dan media. Hubungannya dengan beberapa pemain kunci juga dikabarkan memburuk. Akhirnya, setelah awal musim 2018-2019 yang buruk, Jose Mourinho dipecat pada Desember 2018. Periode Mourinho di United adalah contoh klasik dari sebuah harapan besar yang berujung pada kekecewaan. Ia berhasil memberikan trofi, tetapi gagal membangun fondasi tim yang kuat untuk jangka panjang dan menciptakan gaya permainan yang disukai semua orang. Kegagalannya untuk menyatukan tim dan mengatasi masalah internal menjadi catatan kelam dalam sejarah United pasca-Ferguson.
Ole Gunnar Solskjaer: Harapan 'Gaya United' yang Terus Berlanjut
Setelah pemecatan Jose Mourinho, Ole Gunnar Solskjaer ditunjuk sebagai manajer sementara pada Desember 2018, sebelum akhirnya diangkat secara permanen pada Maret 2019. Solskjaer, mantan penyerang legendaris United, memiliki hubungan emosional yang kuat dengan klub dan para penggemar. Ia diharapkan dapat membawa kembali 'semangat Manchester United' dan gaya permainan menyerang yang menjadi ciri khas era Ferguson. Awal kepelatihannya sungguh luar biasa, dengan rentetan kemenangan yang membangkitkan optimisme besar. Ia berhasil membalikkan keadaan saat melawan Paris Saint-Germain di Liga Champions dan membawa United finis di posisi ketiga klasemen Liga Premier pada musim 2019-2020, sebuah peningkatan yang signifikan. Para penggemar menyukai pendekatannya yang positif, fokus pada pengembangan pemain muda, dan upaya untuk mengembalikan identitas klub. Namun, seiring berjalannya waktu, kekurangan taktis dan kedalaman skuad menjadi masalah yang semakin kentara. United kesulitan bersaing di level tertinggi secara konsisten, terutama melawan tim-tim kuat lainnya. Keputusan transfer yang dipertanyakan dan kegagalan dalam meraih trofi membuat tekanan terhadap Solskjaer semakin meningkat. Meskipun ia memiliki dukungan besar dari para penggemar, dewan direksi akhirnya memutuskan untuk memecatnya pada November 2021, setelah serangkaian hasil yang mengecewakan. Era Solskjaer adalah tentang harapan untuk kembali ke akar filosofi United, namun ia tidak mampu membawa tim meraih trofi dan bersaing di level teratas secara berkelanjutan.
Ralf Rangnick dan Erik ten Hag: Menata Ulang Fondasi
Setelah kepergian Ole Gunnar Solskjaer, Ralf Rangnick mengambil alih sebagai manajer sementara untuk sisa musim 2021-2022. Rangnick, seorang 'bapak baptis' sepak bola gegenpressing, diharapkan dapat memberikan stabilitas dan menerapkan gaya bermain yang lebih modern. Namun, masa jabatannya tidak berjalan mulus, dan ia gagal memberikan dampak signifikan yang diharapkan. Fokusnya lebih banyak pada evaluasi tim untuk manajer berikutnya. Periode Rangnick lebih bersifat transisi dan pengamatan mendalam daripada membangun tim secara permanen.
Kemudian, pada April 2022, Manchester United mengumumkan penunjukan Erik ten Hag sebagai manajer permanen, efektif mulai musim 2022-2023. Ten Hag, yang berhasil membawa Ajax meraih kesuksesan di Eredivisie dan Liga Champions, datang dengan reputasi sebagai pelatih progresif yang mampu mengembangkan pemain muda dan menerapkan gaya sepak bola menyerang yang atraktif. Ia memiliki tugas berat untuk membangun kembali Manchester United dari fondasi yang rapuh. Musim pertamanya di bawah Ten Hag menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang menjanjikan. Ia berhasil mengakhiri puasa gelar klub dengan memenangkan Piala Liga Inggris pada musim 2022-2023 dan membawa tim finis di posisi ketiga klasemen Liga Premier. Permainan tim menunjukkan peningkatan dalam hal organisasi, intensitas, dan gaya bermain yang lebih sesuai dengan keinginan para penggemar. Namun, musim 2023-2024 menjadi musim yang lebih menantang, dengan inkonsistensi dan cedera pemain yang menghambat kemajuan. Ten Hag terus bekerja untuk membangun identitas dan mentalitas pemenang di Old Trafford, sebuah proses yang tidak mudah dan membutuhkan waktu. Tantangan terbesarnya adalah menyatukan kembali skuad, memperbaiki performa di laga-laga krusial, dan membawa United kembali bersaing untuk gelar-gelar utama. Erik ten Hag masih berada di tengah-tengah perjuangannya untuk membentuk kembali Manchester United sesuai visinya, dan hasil kerjanya akan terus dinilai dalam beberapa musim mendatang. Perjalanan pasca-Ferguson memang penuh liku, dan Erik ten Hag adalah babak terbaru dalam upaya panjang klub untuk menemukan kembali kejayaannya.
Lastest News
-
-
Related News
Understanding Iiwith Resources Factoring
Alex Braham - Nov 12, 2025 40 Views -
Related News
Daftar ESIM Telkomsel Di IPhone: Panduan Lengkap
Alex Braham - Nov 13, 2025 48 Views -
Related News
Lucas Paquetá: Brazil's Rising Soccer Star
Alex Braham - Nov 13, 2025 42 Views -
Related News
Atalanta Vs Inter Miami: Match Prediction And Analysis
Alex Braham - Nov 12, 2025 54 Views -
Related News
IOS CMILPARKSC Radiology: Expert Imaging Services
Alex Braham - Nov 13, 2025 49 Views